09 November 2009

Memperingati Sumpah Pemuda, Indonesia Masih Dijajah Kawan!





Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.

Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.

Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia”


Kalo melihat kembali sekilas tentang sejarah sumpah pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, ketika itu para pemuda dari seluruh Indonesia, dari berbagai pelosok tanah air berkumpul di Jakarta untuk mengadakan Kongres Pemuda II.. Tiga baris kalimat di atas lah yang menjadi hasil dari kongres pemuda tersebut, yang saat ini dikenal dengan istilah Sumpah Pemuda. Para peserta Kongres Pemuda II ini berasal dari berbagai wakil organisasi pemuda yang ada pada waktu itu, seperti Jong Java, Jong Ambon,Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, PPPI, Pemuda Kaum Betawi, dll. Para pemuda, dengan inisiatif mereka, rela untuk menyebrangi pulau dan menempuh perjalanan demi untuk berkumpul dengan pemuda-pemuda dari daerah lain di Indonesia.Tujuan mereka satu: menyatukan Indonesia; yang pada waktu itu merupakan sama-sama daerah jajahan imperialis-kolonialis Belanda dan menginginkan kemerdekaan.

pernyataan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 sudah menjadi perwujudan kenyataan politik dari Indonesia merdeka dan berdaulat, sekaligus sebuah pernyataan formal untuk mendapat pengakuan bangsa-bangsa lain di dunia. Dengan begitu, deklarasi “sumpah pemuda” sudah mencapai cita-cita politiknya pada proklamasi kemerdekaan itu. Namun ciita-cita politik mengenai Indonesia merdeka dan berdaulat, hanya merupakan ungkapan politik dari sebuah cita-cita kolektif mengenai keadilan sosial, kesejahteraan, dan kemakmuran bagi seluruh rakyat. Sehingga, perjuangan mewujudkan cita-cita politik ini merupakan sebuah lintasan panjang dari dinamika perjuangan rakyat Indonesia.

Dalam konteks itu, proklamasi bukanlah akhir dari perjuangan mencapai cita-cita politik, sebab kemerdekaan formal ini ternyata belum mendekatkan seluruh rakyat pada cita-cita politiknya; kemerdekaan, keadilan, dan kesejahteraan. Sumpah pemuda tidak bisa disubtitusi dengan ungkapan sebuah pernyataan formal Indonesia merdeka; punya bendera, punya pemerintahan, punya nama “Indonesia”, punya lagu Indonesia raya, dll. Akan tetapi, lebih dari itu, cita-cita politik ini mensyaratkan sebuah perubahan struktural dari kolonialisme menuju ke sebuah tatanan masyarakat baru; berkeadilan sosial, sejahtera, dan makmur serta bebas dari penjajahan.

Saat ini sepertinya sejarah kembali terulang, bangsa Indonesia jatuh ke “lubang” yang sama seperti kolonialisme tahun 1920-an. Indonesia masih dijajah oleh “VOC baru” berwujud korporasi asing terutama secara ekonomi. Situasi politik, sosial, dan budaya yang dihadapi oleh kaum muda sekarang ini pun, sebetulnya tidak berbeda jauh dengan praktik kolononialisme di masa lalu. Di bidang ekonomi misalnya, saat ini hampir sebagian besar saham BUMN dikuasai oleh asing. Yang paling parah, Sumber Daya Alam (SDA) di Tanah Air yang dikelola korporasi-korporasi asing itu sangat sedikit benefit-nya bagi Indonesia. Korporasi-korporasi asing seperti Freeport, Newmont, Exxon Mobile, Chevron, dll mengeruk habis sumber daya kita dan memberikan keuntungan yang sangat sedikit kepada Indonesia, tidak sebanding dengan hasil alam melimpah kita yang dikeruk habis-habisan oleh mereka. Selama ini ada kekeliruan besar dalam kebijakan pengelolaan SDA terutama sektor migas dimana ada ketentuan yang tidak masuk akal bahwa hanya 20 persen gas yang bisa digunakan Indonesia dan selebihnya diekspor. Padahal selama ini beberapa daerah di Indonesia masih mengalami pemadaman listrik dengan alasan ketiadaan pasokan bahan bakar sementara migas yang dihasilkan dari perut bumi tanah air di ekspor ke negara lain.
Selain itu banyak korporasi asing yang memiliki kekuasaan terhadap pemimpin sementara rakyat tidak berhak mengetahui tentang pengelolaan SDA yang dimiliki. Dan yang paling dominan adalah proporsi terbesar dari keuntungan pengelolaan sumber daya alam kita masih dinikmati oleh bangsa asing, sementara pengelolaan ekonomi sepenuhnya didominasi oleh modal asing. Ironisnya posisi perekonomian Indonesia pun belum bergeser dari posisi Negara jajahan; sebagai pengespor bahan mentah, tempat penanaman modal asing (investasi), penyedia tenaga kerja murah, dan menjadi pasar bagi produk negeri-negeri imperialis. Sementara di bidang sosial dan budaya, penetrasi kebudayaan asing juga berlangsung begitu gencar, sehingga menjebol pertahanan kebudayaan nasional dan lokal kita. Gotong-royong, persaudaraan, saling hormat-menghormati kini sudah tidak lagi menjadi sesuatu yang membudaya diantara para pemuda, dan kemudian digantikan dengan kebudayaan penjajah gaya baru (neo-liberal); konsumtifisme, individualisme, hedonisme, dan liberalisme.

Sementara itu pemerintah saat ini juga masih tidak adil terhadap rakyat-rakyatnya di seluruh Indonesia. Tidak ada kesejahteraan secara menyeluruh di bawah pemerintahan agen imperialis saat ini. Sejak era pemerintahan sukarno sampai sekarang ini pembangunan belum dilakukan secara adil dan menyeluruh, terbukti dari banyaknya masyarakat miskin yang kelaparan dan tertinggalnya daerah Kawasan Indonesia Timur, padahal dahulu pada peristiwa sumpah pemuda juga ikut hadir para pemuda dari Jong Celebes, Jong Ambon, dll yang ikut mengikrarkan sumpah pemuda untuk mencapai kemerdekaan dan kesejahteraan bersama. Tampaknya kita masih belum merdeka, lepas dari penjajahan Belanda namun malah dijajah oleh pemerintahan sendiri dan para agen imperialis neo-kolonialisme; WTO, NAFTA, AFTA, IMF, World Bank, dll.

Dalam 5 tahun ke depan, jika tidak ada perubahan yang radikal dan revolusioner, jurang kemiskinan akan semakin terbuka lebar seiring dengan tidak adanya pembatasan masuknya korporasi-korporasi asing di di negeri ini. Seperti contoh-contoh Negara kapitalisme yang lain, “yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin”. Berbagai Undang-Undang yang memperdalam dan melancarkan program-program neoliberalisme telah disahkan secara cepat untuk mengejar target “obat” krisis Kapitalisme Global di negeri dan memperluas lapangan invasi akumulasi kapitalis untuk di bawa ke kantong-kantong korporasi internasional. Undang-undang tersebut, antaralain: UU Ketenagalistrikan, UU Migas, UU HP3, UU Kehutanan, UU Pajak, UU Kawasan Ekonomi Khusus, Perpu Pembebasan Lahan, UU BHP. (2). Bahkan DPR periode 2004-2009 telah mengesahkan privatisasi 30 perusahaan negara (sebagian belum terealisasi). Apa yang dilakukan PDIP, Hanura ataupun Gerindra sebagai kumpulan elit-elit politik Sisa-Sisa Ordebaru dan Reformis Gadungan hanyalah bargaining position belaka agar dalam peta politik ke depan diharapkan akan mendongkrak populeritas politik mereka, dengan tentu saja menunggangi dan memetik hasil kerja keras gerakan anti imperialis. (3). Dengan konfigurasi politik semacam itu, pembatasan ruang-ruang demokrasi (kebebasan ekspresi, kontrol dan partisipasi) akan semakin jelas arahnya, menyempit! Berbagai rancangan UU dan UU yang membahayakan demokrasi, yang menunggu peraturan perundang-undangannya, seperti RUU Rahasia Negara, RUU Penyiaran, RUU Pers, RUU Intelejen Negara.

Sementara elit-elit politik berbagi dan membagi-bagi kekuasaan, dengan tujuan yang sama: memuaskan “Tuan Pemberi Modalnya” (Imperialisme), dan para menteri mulai teriak-teriak kenaikan gaji padahal belum memberi kontribusi apa-apa untuk rakyat sama sekali. kaum miskin di negeri ini mendapati posisinya semakin tertindas dengan: PHK Massal, penggusuran, Pendidikan, transportasi, biaya hidup yang mahal. Suatu sistem yang memaksa manusia untuk mempertahankan hidupnya sendiri-sendiri, memisahkan manusia satu dan lainnya secara sosial dengan tanpa: pengetahuan, modal, teknologi dan alat produksi, sungguh suatu sistem yang memiskinkan. Negara yan gseharusnya pada awal sumpah pemuda diproklamirkan diharapkan dapat memberi kesejahteraan, rasa aman, serta kerakyatan dan keadilan sosial justru malah membuat rakyat semakin dalam kepada jurang kemiskinan. Pemerintahan yan gsangat pro terhadap penjajahan gaya baru yaitu neo-liberalisme.

Sudah sangat jelas bahwa kaum pemuda berhak melakukan perubahan ketika bangsa ini dijajah dan di eksploitasi besar-besaran, bukan hanya dari pihak asing bahkan dari pemerintahan sendiri. Hanya pemudalah yang menjadi penggerak bangsa, menjadi tulang punggung kehidupan bernegara. Pemuda. Penerus Bangsa. Generasi Harapan untuk bangsa kita agar menjadi lebih baik. sudah saatnya kaum muda bangkit untuk melawan penjajahan gaya baru – NEOLIBERALISME!!

Kepada yang terhormat pemerintahan yang tidak adil, kita adalah anak-anak kalian juga, kita punya mimpi dan jangan hancurkan mimpi kita: kita butuh Indonesia yang lebih baik!


“WE ARE MAKING DREAMS - DONT KILL OUR DREAMS.
WE ARE MAKING A DASH - DONT STOP US
WHY DO WE BURN / WHY WE DESTROY?
BECAUSE WE ARE COMMODITIES..
AND WE DON’T LIKE IT AT ALL!!”




09 October 2009

MIMPI BURUK ORANG2 MISKIN DI JAKARTA

PEJABAT Jakarta seperti ditampar. Seorang warganya harus menggendong mayat anaknya karena tak mampu sewa mobil jenazah.

Penumpang kereta rel listrik (KRL) jurusan Jakarta - Bogor pun geger

Minggu (5/6). Sebab, mereka tahu bahwa seorang pemulung bernama Supriono (38 thn) tengah menggendong mayat anak, Khaerunisa (3 thn).
Supriono akan memakamkan si kecil di Kampung Kramat, Bogor dengan menggunakan jasa KRL. Tapi di Stasiun Tebet, Supriono dipaksa turun dari kereta, lantas dibawa ke kantor polisi karena dicurigai si anak adalah korban kejahatan. Tapi di kantor polisi, Supriono mengatakan si anak tewas karena penyakit muntaber. Polisi belum langsung percaya dan memaksa Supriono membawa jenazah itu ke RSCM untuk diautopsi.

Di RSCM, Supriono menjelaskan bahwa Khaerunisa sudah empat hari terserang muntaber. Dia sudah membawa Khaerunisa untuk berobat ke Puskesmas Kecamatan Setiabudi. “Saya hanya sekali bawa Khaerunisa ke puskesmas, saya tidak punya uang untuk membawanya lagi ke puskesmas, meski biaya hanya Rp 4.000,- saya hanya pemulung kardus, gelas dan botol plastik yang penghasilannya hanya Rp 10.000,- per hari”. Ujar bapak 2 anak yang mengaku tinggal di kolong perlintasan rel KA di Cikini itu.
Supriono hanya bisa berharap Khaerunisa sembuh dengan sendirinya. Selama sakit Khaerunisa terkadang masih mengikuti ayah dan kakaknya, Muriski Saleh (6 thn), untuk memulung kardus di Manggarai hingga Salemba, meski hanya terbaring digerobak ayahnya.

Karena tidak kuasa melawan penyakitnya, akhirnya Khaerunisa menghembuskan nafas terakhirnya pada Minggu (5/6) pukul 07.00.
Khaerunisa meninggal di depan sang ayah, dengan terbaring di dalam gerobak yang kotor itu, di sela-sela kardus yang bau. Tak ada siapa-siapa, kecuali sang bapak dan kakaknya. Supriono dan Muriski termangu. Uang di saku tinggal Rp 6.000,- tak mungkin cukup beli kain kafan untuk membungkus mayat si kecil dengan layak, apalagi sampai harus menyewa ambulans. Khaerunisa masih terbaring di gerobak. Supriono mengajak Musriki berjalan menyorong gerobak berisikan mayat itu dari Manggarai hingga ke Stasiun Tebet, Supriono berniat menguburkan anaknya di kampong pemulung di Kramat, Bogor. Ia berharap di sana mendapatkan bantuan dari sesama pemulung.

Pukul 10.00 yang mulai terik, gerobak mayat itu tiba di Stasiun Tebet.
Yang tersisa hanyalah sarung kucel yang kemudian dipakai membungkus jenazah si kecil. Kepala mayat anak yang dicinta itu dibiarkan terbuka, biar orang tak tahu kalau Khaerunisa sudah menghadap Sang Khalik. Dengan menggandeng si sulung yang berusia 6 thn, Supriono menggendong Khaerunisa menuju stasiun. Ketika KRL jurusan Bogor datang, tiba-tiba seorang pedagang menghampiri Supriono dan menanyakan anaknya. Lalu dijelaskan oleh Supriono bahwa anaknya telah meninggal dan akan dibawa ke Bogor spontan penumpang KRL yang mendengar penjelasan Supriono langsung berkerumun dan Supriono langsung dibawa ke kantor polisi Tebet. Polisi menyuruh agar Supriono membawa anaknya ke RSCM dengan menumpang ambulans hitam.

Supriono ngotot meminta agar mayat anaknya bisa segera dimakamkan.
Tapi dia hanya bisa tersandar di tembok ketika menantikan surat permintaan pulang dari RSCM. Sambil memandangi mayat Khaerunisa yang terbujur kaku. Hingga saat itu Muriski sang kakak yang belum mengerti kalau adiknya telah meninggal masih terus bermain sambil sesekali memegang tubuh adiknya. Pukul 16.00, akhirnya petugas RSCM mengeluarkan surat tersebut, lagi-lagi Karen atidak punya uang untuk menyewa ambulans, Supriono harus berjalan kaki menggendong mayat Khaerunisa dengan kain sarung sambil menggandeng tangan Muriski. Beberapa warga yang iba memberikan uang sekadarnya untuk ongkos perjalanan ke Bogor.

Para pedagang di RSCM juga memberikan air minum kemasan untuk bekal Supriono dan Muriski di perjalanan.

Psikolog Sartono Mukadis menangis mendengar cerita ini dan mengaku benar-benar terpukul dengan peristiwa yang sangat tragis tersebut karena masyarakat dan aparat pemerintah saat ini sudah tidak lagi perduli terhadap sesama. “Peristiwa itu adalah dosa masyarakat yang seharusnya kita bertanggung jawab untuk mengurus jenazah Khaerunisa. Jangan bilang keluarga Supriono tidak memiliki KTP atau KK atau bahkan tempat tinggal dan alamat tetap. Ini merupakan tamparan untuk bangsa Indonesia”, ujarnya.

Koordinator Urban Poor Consortium, Wardah Hafidz, mengatakan peristiwa itu seharusnya tidak terjadi jika pemerintah memberikan pelayanan kesehatan bagi orang yang tidak mampu. Yang terjadi selama ini, pemerintah hanya memerangi kemiskinan, tidak mengurusi orang miskin kata Wardah.

02 October 2009

RUU Ketenagalistrikan Berpotensi Menyengsarakan Rakyat

Listrik adalah salah satu sumber energi yang digunakan untuk berbagai kebutuhan seperti kebutuhan rumah tangga, transportasi, proses produksi, penerangan jalan, dan sebagainya. Kebijakan listrik di Indonesia dituangkan dalam UU no 15 tahun 1985 mengenai ketenagalistrikan yang menekankan pentingnya tenaga listrik bagi kemakmuran rakyat pada umumnya serta untuk mendorong peningkatan kegiatan ekonomi pada khususnya. Oleh karena itu usaha penyediaan tenaga listrik, pemanfaatan serta pengolahannya perlu ditingkatkan supaya tersedia tenaga listrik dalam jumlah yang cukup merata dengan kualitas pelayanan yang baik.

Masalah kelistrikan di Indonesia sebenarnya sudah sangat jelas, yaitu kurangnya pasokan. Hampir di seluruh daerah di Indonesia, tingkat beban puncak melebihi daya mampu. Apa yang menjadi sebab kesenjangan antara kebutuhan listrik dan pasokan listrik di Indonesia? PLN, sebagai satu-satunya produsen listrik di Indonesia menghadapi banyak persoalan yang dilematis dalam mengurus sistem kelistrikan Indonesia. Pertama mengenai harga. Harga listrik telah dipatok oleh pemerintah sedangkan biaya produksi naik berlipat-lipat sementara subsidi terus dikurangi. Kedua, PLN harus menghadapi pemasok energi primer yang harganya sudah dilepas ke mekanisme pasar (Tempo, edisi 3-9/03/2008).

Sedangkan untuk rakyat Indonesia di Jawa-Bali saja, penggunaan listrik bagi kebutuhan rumah tangganya telah mencapai 90%. Sedangkan untuk wilayah luar Jawa, walaupun belum semua menggunakan jasa listrik untuk kebutuhan rumah tangganya, namun dapat dipastikan bahwa sebagian besar rakyat di luar Jawa juga membutuhkan listrik untuk membantu produktivitas rumah tangga dan industrinya. Untuk itu, listrik dapat dianggap sebagai sebuah kebutuhan yang mungkin tidak dapat dilepaskan dari kehidupan masyrakat untuk menjalani kehidupannya.

Oleh karena itu, bidang kelistrikan kemudian juga menjadi incaran para pemilik modal untuk mendapatkan keuntungan. Dengan asumsi sekitar 90% masyarakat di Jawa dan Bali menggunakan listrik untuk membantu produktivitas rumah tangganya, maka ini bisa menjadi lahan bisnis baru bagi para pemilik modal.

Untuk melancarkan swastanisasi/privatisasi bidang kelistrikan kemudian pemerintah pada tahun 2002 memberlakukan UU No 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. Inti dari UU No 20 Tahun 2002 tersebut adalah mengupayakan swastanisasi/privatisasi kelistrikan di Jawa-Bali dapat terwujud dan menyerahkan PLN Luar Jawa ke Pemda. Hal ini jelas akan berdampak pada semakin tingginya biaya listrik yang harus ditanggung oleh rakyat Indonesia, khususnya di Jawa-Bali serta membebankan PEMDA dalam memenuhi kebutuhan listrik bagi masyarkatnya. Dalam salah satu pasalnya di UU NO 20 Tahun 2002 disebutkan bahwa usaha pembangkitan tenaga listrik dilakukan berdasakan kompetisi. Artinya untuk pembangkit tenaga listrik, setiap pemilik modal dapat berkompetisi untuk membangun instalasi tersebut. Hal ini jelas akan berdampak seperti halnya swastanisasi yang saat ini terjadi di bidang pendidikan dan kesehatan. Masyarakat yang tidak mampu secara finansial akan tertutup aksesnya untuk menikmati listrik karena tidak memiliki biaya.

Akan tetapi pada 15 Desember 2004, Mahkamah Konstitusi membatalkan UU No 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan karena bertentangan dengan konstitusi UUD’45. Untuk selanjutnya pemerintah dan DPR diminta untuk segera menyiapkan undang-undang baru sebagai pengganti UU No 20 Tahun 2002. Namun dalam Rancangan Undang-Undang Ketenagalistrikan yang baru pun masih sarat dengan bau Neoliberalisme yang akan menyengsarakan rakyat. Penyediaan ketenagalistrikan akan diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah dan pemerintah daerah yang berlandaskan prinsip Otonomi Daerah. Selain itu upaya untuk menswastanisasi bidang ketenagalistrikan juga masih sangat kental dalam RUU Ketengalistrikan yang baru.

Dengan disahkannya UU Kelistrikan yang baru, swasta bisa langsung menjual listrik ke masyarakat di daerah yang belum terjangkau listrik PLN. Sedangkan untuk daerah yang sudah terjangkau listrik PLN, maka pihak swasta, koperasi dan BUMN bisa menjual listriknya ke PLN. Meskipun baru rencana dan masih dalam hitung-hitungan PLN, yang belum mendapat persetujuan DPR dan Pemerintah. Rencana kenaikan tarif dasar listrik (TDL) oleh PLN yang dikabarkan berkisar 20-30% ditolak pengusaha. Kenaikan tersebut akan mengganggu ongkos produksi industri dan daya saing, termasuk memberatkan konsumen umum. Rakyat Indonesia oleh pemerintah saat ini hanya dijadikan “sapi perah” agar dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi para pemilik modal. Hal ini juga menunjukkan ketertundukkan pemerintah kepada para pemilik modal dan tidak mempedulikan nasib rakyat Indonesia akibat diberlakukannya berbagai kebijakan yang dimunculkan oleh pemerintah. Dengan adanya UU ketenagalistrikan yang baru ini sangat bertolak belakang dengan UUD 1945 pasal 33 yang berbunyi:

"Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat."

Sudah jelas bahwa sistem Neoliberalisme-Kapitalisme telah gagal untuk mensejahterakan rakyat Indonesia. Bahkan sebenarnya bukan hanya gagal, namun sistem Neoliberalisme-Kapitalisme jelas-jelas hanya akan menyengsarakan kehidupan rakyat Indonesia dan hanya ingin menguntungkan kepentingan-kepentingan para pemilik modal.

DPR, sebagai badan legislatif seharusnya menolak dengan tegas diberlakukannya Rancangan Undang-Undang Ketenagalistrikan yang baru, untuk menggantikan UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Karena sebenarnya RUU Ketenagalistrikan yang akan diberlakukan tersebut tidak berbeda dengan Undang-undang sebelumnya, dimana hanya akan menguntungkan kepentingan para pemilik modal dan menyengsarakan rakyat Indonesia.

”pemerintah seharusnya melakukan restrukturisasi energi listrik sebagai bagian dari reformasi ekonomi yang meningkatkan efisiensi ekonomi nasional tanpa memberi angin segar kepada sektor swasta dan mengesampingkan kesejahteraan rakyat banyak.”

10 September 2009

Poor Healthcare In Indonesia

Here's my another college journal assignment about how poor indonesian healthcare is...


The insurance professionals that embrace all people of Indonesia. Such systems have long held in developed countries like USA for example. There, the system of health services already have health insurance system in the different countries we are still in the system around 'pay for service', a new pay first served. System pay for such service is not suitable for the service of medical affairs for the sick to emergency departments is not possible to wait before the new money can be life saving action. But to remember, in the case of treatment, the hospital is not the institutions but social institutions so that profit may not all patients who come are served with no certainty of payment. May be unethical, I have to help the life of money waiting-waiting, but so ruling, we must realize that the hospital was established not to do even though the field of humanitarian offensive, except a hospital or clinic social devote to it is established. One way out for this problem is the existence of health insurance in the form of insurance on each individual as in developed countries, including Singapore.

Awareness on the health insurance business in Indonesia is still relatively low at the top of the middle (although better start now), and insurance is impossible for the economy is weak because all revenue out in their primary needs (temporary insurance needs is tertiary). While the illness does not have to know that and can override all the good rich or poor, such as accidents, stroke, heart attack, cancer or a terminal illness such as kidney failure that requires regular blood washing. When throughout the day-to-day we do not allocate the money as a backup in such condition so when the disaster befalling all economic barriers will hinder the medical action is fast and precise.

Indeed has the required insurance professionals who truly are able to manage health problems for many people in our country, so public access to comprehensive health care. In addition, of course promotional and preventive efforts need to be a main focus in the health sector with the pattern of life that is healthy, a routine health examination and early detection so that the more the disease can be prevented so that the load is reduced to state residents who bear the weight of pain and non-productive.

03 July 2009

BOOKS REFFERENCES

The Ecological Revolution: Making Peace with the Planet

Publisher: AK Press
Release Date: 27 - 04- 2009

Overview:

Since the atomic bomb made its first appearance on the world stage in 1945, it has been clear that we possess the power to destroy our own planet. What nuclear weapons made possible, global environmental crisis, marked especially by global warming, has now made inevitable—if business as usual continues.

The roots of the present ecological crisis, John Bellamy Foster argues, lie in capital's rapacious expansion, which has now achieved unprecedented heights of irrationality across the globe. Foster compellingly demonstrates that the only possible answer for humanity is an ecological revolution: a struggle to make peace with the planet. Foster details the beginnings of such a revolution in human relations with the environment which can now be found throughout the globe, especially in the periphery of the world system, where the most ambitious experiments are taking place.


DIY: The Rise Of Lo-Fi Culture

Publisher: Marion Boyars
Release Date: 10 - 01- 2009

Overview:

A well informed study that champions the unsung heroes and heroines of DIY distribution in art, music, literary zines and culture.

This exploration of lo-fi culture traces the origin of the DIY ethic to the skiffle movement of the 1950s, mail art,Black Mountain poetry and Avant-Garde art in the 1950s, the punk scene of the 1970s and 80s, right the way through to the current music scene. Through interviews with key writers, promoters and musicians (including Bikini Kill and Bratmobile) Amy charts the development of music outside of the publicity machine of the large companies, and examines the politics behind the production of the many 'home-made' recordings and publications available today.

Amy Spencer is a former zine writer and record label founder who is part of the promotions collective The Bakery. She is currently studying for a PhD in Contemporary London Literature.


Breaking the Iron Cage: Resistance to the Schooling of Global Capitalism

Publisher: Canadian Centre for Policy Alternatives
Release Date: 23 - 03- 2009

Overview:

This special issue of the journal Our Schools/Our Selves deals specifically with the ways that neoliberalism has ravaged our schools (including privatization, cutbacks, and government influence on curriculum), and how parents, students, teachers, administrators, and communities have struggled around the deeper issues of governance, curriculum, and pedagogy. Includes essays by 16 different contributors involved in education and research all over the world.


We The Anarchists!: A Study Of The Iberian Anarchist Federation (FAI) 1927–1937

Publisher: AK Press
Release Date: 10 - 09 - 2008

Overview:

Since the official birth of organized anarchism at the Saint-Imier Congress of 1872, no anarchist organization has been held up to greater opprobrium or subjected to such gross misinterpretation than the Federacíon Anarquista Ibérica. Better known by its initials, the FAI was a group of twentieth-century militants dedicated to keeping Spain's largest labor union, the CNT, on a revolutionary, anarcho-syndicalist path.
There are two dimensions to Stuart Christie's indispensable We, the Anarchists! The first is descriptive and historical: it outlines the evolution of the organized anarchist movement in Spain and its relationship with the wider labor movement and, at the same time, providing some insight into the main ideas that made the Spanish labor movement one of the most revolutionary of modern times. The second is analytical, as the book addresses—from an anarchist perspective—the problem of understanding and coping with change in the contemporary world; how can ideals survive the process of institutionalization?
Stuart Christie's analysis covers the history of Spanish anarchism and the Spanish Civil War, the affinity group organization of the FAI, and the misreadings and outright lies told about the FAI in numerous popular accounts of the period. We, the Anarchists! also provides lessons for today's largely neutered labor movement.
A gripping tale and informative historical corrective, Christie's book jumps out of history with lessons for contemporary organizations and individuals struggling for social and economic change.

Author Stuart Christie is co-founder of the Anarchist Black Cross, Black Flag magazine, and Cienfuegos Press; author of numerous books, including Granny Made Me an Anarchist; and currently publishes books and films through Christie Books. He was imprisoned in 1964 for attempting to assassinate Spanish Dictator Francisco Franco.



02 July 2009

Earth First!: The Radical Environmental Action


The very future of life on Earth is in danger. Human activities—from hunting to habitat destruction—have already driven countless species to extinction, and the process is only accelerating. The destruction of the Earth and its sustainable indigenous cultures has led to tragedy in every corner of the globe.

Meanwhile, scientists have confirmed what indigenous cultures have taught for thousands of years: all forms of life are vitally connected. Removing even a single strand from the web of life produces a widening ripple of catastrophe. On a more spiritual level, Earth First!ers under stand that we can never be the healthy humans that we were meant to be in a world without wilderness, clean air and the howling of wolves under the moon.

It is not enough to ask politicians and corporations to destroy less wilderness. Earth First need to preserve it all, to recreate lost habitats and reintroduce extirpated predators. Earth First need to stop and reverse the poisoning of our air, water and soil, as well as the modification of life's genetic code. It is not enough to oppose the construction of new dams and developments. It is time to free our shackled rivers and restore the land.

Earth First! formed in 1979, in response to an increasingly corporate, compromising and ineffective environmental community. It is not an organization, but a movement. There are no "members" of EF!, only Earth First!ers. Earth First believe in using all of the tools in the toolbox, from grassroots and legal organizing to civil disobedience and monkeywrenching. When the law won't fix the problem, Earth First put their bodies on the line to stop the destruction. Earth First!'s direct-action approach draws attention to the crises facing the natural world, and it saves lives.

Guided by a philosophy of deep ecology, Earth First! does not accept a human-centered worldview of "nature for people's sake." Instead, they believe that life exists for its own sake, that industrial civilization and its philosophy are anti-Earth, anti-woman and anti-liberty. Their structure is non-hierarchical, and they reject highly paid "professional staff" and formal leadership.

Earth First define oppressive behavior as any conduct (typically along lines of institutionalized power and privilege) that demeans, marginalizes, rejects, threatens or harms any living being on the basis of ability, activist experience, age, class/income level, cultural background, education, ethnicity, gender, immigration status, language, nationality, physical appearance, race, religion, self-expression, sexual orientation, species, status as a parent or other such factors. Oppressive behavior comes in a wide variety of forms, from seemingly harmless jokes to threats of violence, from interrupting to verbal abuse, from unwanted touching to rape, from hitting to murder. Some forms are more extreme and irreparable than others, but all are unacceptable under the Journal’s anti-oppression policy.

CHOMSKY'S CONTRIBUTIONS


Avram Noam Chomsky yang lahir 7 Desember 1928 adalah seorang profesor di bidang linguistik dari Massachusetts Institute of Technology (MIT). kepakaran dalam bidang linguistik ini mengantarkannya merambah ke studi politik. Chomsky telah menulis lebih dari 30 buku politik, dengan beragam tema. Dan sejak 1965 hingga kini, dia menjelma menjadi salah satu tokoh intelektual yang paling kritis terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Buku-buku bertema politiknya kerap dianggap terlalu radikal untuk diresensi atau ditampilkan media AS.

Noam Chomsky telah terlibat dalam aktivisme politik sejak Ia menginjak usia dewasa dan mengeluarkan berbagai opininya mengenai politik dan berbagai peristiwa dunia yang dikutip secara luas, dipublikasikan dan didiskusikan. Menanggapi hal tersebut Chomsky berargumen bahwa pandangan-pandangannya merupakan hal yang tidak ingin didengar oleh mereka yang berkuasa, dan untuk alasan inilah Chomsky dianggap sebagai seorang disiden politik Amerika. Beberapa garis besar pandangan politiknya adalah:

  • Kekuasaan, kecuali dapat dijustifikasi, tidak dapat dilegitimasi. Mereka yang berada dalam posisi otoritas berkewajiban membuktikan mengapa mereka bisa diangkat ke posisi tersebut dan mengapa hal tersebut bisa dijustifikasi. Jika kewajiban ini tidak bisa dipenuhi, si pemegang otoritas tersebut harus digulingkan. Otoritas pada hakikatnya tidak dapat dijustifikasi. Sebuah contoh bentuk otoritas yang dapat dilegitimasi adalah yang dilakukan orang tua ketika mencegah anak kecil berjalan ke tengah jalan raya.
  • Bahwa tidak banyak perbedaan antara perbudakan dan "penyerahan" diri seseorang kepada seorang majikan untuk "disewa", atau "perbudakan dengan upah". Dia menganggapnya sebagi penyerangan terhadap integritas pribadi yang menghancurkan dan melecehkan kebebasan diri kita. Dia berpendapat bahwa mereka yang bekerja di pabrik harus menjalankan pabrik tersebut.
  • Kritik yang sangat kuat pada kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Secara khusus, dia melihat adanya standar ganda (yang dia sebut sebagai "standar tunggal") pada kebijakan luar negeri yang menceramahi tentang demokrasi dan kebebasan orang, ketika pada saat yang sama mempromosikan, mendukung, dan menyekutukan dirinya dengan negara dan organisasi non- demokrasi dan represif. Chomsky berargumen bahwa hal tersebut berakibat pada pelanggaran berat . Dia juga sering berargumen bahwa campur tangan Amerika pada negara-negara asing, termasuk bantuan rahasia terhadap Contras di Nikaragua, salah satu peristiwa yang Chomsky telah sangat kritis terhadapnya, masuk ke dalam deskripsi standar.
  • Dia berargumen bahwa media massa di Amerika Serikat banyak yang berpraktik sebagai pasukan propaganda dan “keulamaan bayaran” oleh pemerintahan dan perusahaan-perusahaan Amerika Serikat, dengan tiga pihak tersebut yang secara luas saling berkait-kelindan melalui kepentingan yang sama. Dalam referensi terkenal yang merujuk pada Walter Lippman, Chomsky bersama Edward S. Herman menulis media Amerika memproduksi consent (imaji lewat media untuk memberikan sekutunya semacam hak untuk melakukan sesuatu yang salah secara hukum tapi berhak untuk tidak dituntut) ke dalam benak masyarakat.
  • Chomsky pernah menyatakan bahwa Amerika Serikat merupakan “negara paling hebat di dunia”, sebuah komentar yang kemudian dia klarifikasi dengan mengatakan, “Mengevaluasi negara-negara adalah tidak masuk akal dan saya tidak akan pernah memberikan hal-hal semacam itu untuk dipakai pada istilah tersebut, namun beberapa kemajuan Amerika, khususnya pada wilayah kebebasan berbicara, yang telah dicapai oleh berabad-abad perjuangan populer, harus dihargai.” Dia juga mengatakan “Dalam banyak hal, Amerika Serikat adalah negara terbebas di dunia. Yang saya maksudkan tidak hanya dalam hal tatanan kenegaraan, meskipun itu juga benar, tapi juga dalam hal hubungan individu. Amerika Serikat lebih mendekati kondisi tanpa kelas (classlessness) untuk hal hubungan interpersonal dibandingkan hampir masyarakat manapun.


30 June 2009

THE ESSENCE OF ABOLITION EXPLOITATION


Ever reviled, accursed, ne'er understood,

Thou art the grisly terror of our age.
"Wreck of all order," cry the multitude,
"Art thou, and war and murder's endless rage."
O, let them cry. To them that ne'er have striven
The truth that lies behind a word to find,
To them the word's right meaning was not given.
They shall continue blind among the blind.
But thou, O word, so clear, so strong, so pure,
Thou sayest all which I for goal have taken.
I give thee to the future! Thine secure
When each at least unto himself shall waken.
Comes it in sunshine? In the tempest's thrill?
I cannot tell--but it the earth shall see!
I am an Anarchist! Wherefore I will
Not rule, and also ruled I will not be!"

-John Henry Mackakay-

Menurut Alexander berkman (1880-1936), Anarkisme bukan Bom, ketidakteraturan atau kekacauan. Bukan perampokan dan pembunuhan. Bukan pula sebuah perang di antara yang sedikit melawan semua. Bukan berarti kembali kekehidupan barbarisme atau kondisi yang liar dari manusia. Anarkisme adalah kebalikan dari itu semua. Anarkisme berarti bahwa anda harus bebas. Bahwa tidak ada seorangpun boleh memperbudak anda, menjadi majikan anda, merampok anda, ataupun memaksa anda. Itu berarti bahwa anda harus bebas untuk melakukan apa yang anda mau, memiliki kesempatan untuk memilih jenis kehidupan yang anda mau serta hidup didalamnya tanpa ada yang mengganggu, memiliki persamaan hak, serta hidup dalam perdamaian dan harmoni seperti saudara. Berarti tidak boleh ada perang, kekerasan, monopoli, kemiskinan, penindasan, serta menikmati kesempatan hidup bersama-sama dalam kesetaraan.

Anarkisme menganggap bahwa pemerintahan (Negara) itu bukan saja tidak diperlukan tapi juga berbahaya. Para anarkis adalah mereka yang mempercayai anarkisme dan memiliki hasrat untuk hidup di dalam anarki sebagaimana yang pernah dilakukan oleh para leluhur kita dulu. Mereka yang mempercayai pemerintahan ( seperti kaum liberal, Marxis, Konservatif, sosialis dan fasis ) dijuluki sebagai “statist". anarkisme membenci segala sistem pemerintahan yang ada baik itu liberalisme dan komunisme, karena pada dasarnya sitem itu berpihak kepada golongan yang lebih kecil atau seorang rulers dan menindas golongan masyarakat mayoritas. Pada salah satu pidato Bakkunin dalam kongres ‘Perhimpunan Perdamaian dan Kebebasan’ di Bern (1868), dia berkata:
Saya bukanlah seorang komunis karena komunisme mempersatukan masyarakat dalam negara dan terserap di dalamnya; karena komunisme akan mengakibatkan konsentrasi kekayaan dalam negara, sedangkan saya ingin memusnahkan negara --pemusnahan semua prinsip otoritas dan kenegaraan, yang dalam kemunafikannya ingin membuat manusia bermoral dan berbudaya, tetapi yang sampai sekarang selalu memperbudak, mengeksploitasi dan menghancurkan mereka.


29 June 2009

WAR ON POVERTY, FOOD NOT BOMBS


why you feel so better off
when you think no one is worse off than you?
then take a walk down poverty lane fellas,
and witness the starving children with no where to go,
no mommy to hold.

The world produces enough food to feed everyone,
of course if it distributed equally.
There is an abundance of food.
In fact, in Indonesia, every day in every city,
far more edible food is discarded than is needed to feed those who do not have enough to eat.

Yet there is plenty of food in the world for everyone.
The problem is that hungry people are trapped in severe poverty.
They lack the money to buy enough food to nourish themselves.
Being constantly malnourished, they become weaker and often sick.
This makes them increasingly less able to work, which then makes them even poorer and hungrier. This downward spiral often continues until death for them and their families.

There is enough food in the world to feed everyone,
but too much of it goes to waste needlessly,
as a direct result of capitalism and militarism.

If governments and corporations around the world spent as much money, time, and energy on feeding people as they do on spend much money on politics campaign,
then no one would go hungry.

so, who has need to be blame?
yes definitely, the government and the corporate system..





21 June 2009

BACK IN STUDIO AND THE NEXT PLAN


So now it’s time to kick it into full swing! We are working diligently on our debut split album with our bestfriends, Dosound, Easycore from Depok. which is scheduled for an end of year release under signature of Hit And Run Records, run by Medhi (management of Kuro) who had releases Kuro, No Label, Silent Farewell, Speak Up, and other great bands.

We expect great tunes and great times, including national and international tour dates in the near future with our friends, Dosound! We couldn’t have done any of this without the help of all our loving, supporting friends - we owe you big time!

Get stoked! Spread the word :)




note:
here's the video when ixan taking a drum session, he's sick.. haha
click here