Listrik adalah salah satu sumber energi yang digunakan untuk berbagai kebutuhan seperti kebutuhan rumah tangga, transportasi, proses produksi, penerangan jalan, dan sebagainya. Kebijakan listrik di Indonesia dituangkan dalam UU no 15 tahun 1985 mengenai ketenagalistrikan yang menekankan pentingnya tenaga listrik bagi kemakmuran rakyat pada umumnya serta untuk mendorong peningkatan kegiatan ekonomi pada khususnya. Oleh karena itu usaha penyediaan tenaga listrik, pemanfaatan serta pengolahannya perlu ditingkatkan supaya tersedia tenaga listrik dalam jumlah yang cukup merata dengan kualitas pelayanan yang baik.
Masalah kelistrikan di Indonesia sebenarnya sudah sangat jelas, yaitu kurangnya pasokan. Hampir di seluruh daerah di Indonesia, tingkat beban puncak melebihi daya mampu. Apa yang menjadi sebab kesenjangan antara kebutuhan listrik dan pasokan listrik di Indonesia? PLN, sebagai satu-satunya produsen listrik di Indonesia menghadapi banyak persoalan yang dilematis dalam mengurus sistem kelistrikan Indonesia. Pertama mengenai harga. Harga listrik telah dipatok oleh pemerintah sedangkan biaya produksi naik berlipat-lipat sementara subsidi terus dikurangi. Kedua, PLN harus menghadapi pemasok energi primer yang harganya sudah dilepas ke mekanisme pasar (Tempo, edisi 3-9/03/2008).
Sedangkan untuk rakyat Indonesia di Jawa-Bali saja, penggunaan listrik bagi kebutuhan rumah tangganya telah mencapai 90%. Sedangkan untuk wilayah luar Jawa, walaupun belum semua menggunakan jasa listrik untuk kebutuhan rumah tangganya, namun dapat dipastikan bahwa sebagian besar rakyat di luar Jawa juga membutuhkan listrik untuk membantu produktivitas rumah tangga dan industrinya. Untuk itu, listrik dapat dianggap sebagai sebuah kebutuhan yang mungkin tidak dapat dilepaskan dari kehidupan masyrakat untuk menjalani kehidupannya.
Oleh karena itu, bidang kelistrikan kemudian juga menjadi incaran para pemilik modal untuk mendapatkan keuntungan. Dengan asumsi sekitar 90% masyarakat di Jawa dan Bali menggunakan listrik untuk membantu produktivitas rumah tangganya, maka ini bisa menjadi lahan bisnis baru bagi para pemilik modal.
Untuk melancarkan swastanisasi/privatisasi bidang kelistrikan kemudian pemerintah pada tahun 2002 memberlakukan UU No 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. Inti dari UU No 20 Tahun 2002 tersebut adalah mengupayakan swastanisasi/privatisasi kelistrikan di Jawa-Bali dapat terwujud dan menyerahkan PLN Luar Jawa ke Pemda. Hal ini jelas akan berdampak pada semakin tingginya biaya listrik yang harus ditanggung oleh rakyat Indonesia, khususnya di Jawa-Bali serta membebankan PEMDA dalam memenuhi kebutuhan listrik bagi masyarkatnya. Dalam salah satu pasalnya di UU NO 20 Tahun 2002 disebutkan bahwa usaha pembangkitan tenaga listrik dilakukan berdasakan kompetisi. Artinya untuk pembangkit tenaga listrik, setiap pemilik modal dapat berkompetisi untuk membangun instalasi tersebut. Hal ini jelas akan berdampak seperti halnya swastanisasi yang saat ini terjadi di bidang pendidikan dan kesehatan. Masyarakat yang tidak mampu secara finansial akan tertutup aksesnya untuk menikmati listrik karena tidak memiliki biaya.
Akan tetapi pada 15 Desember 2004, Mahkamah Konstitusi membatalkan UU No 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan karena bertentangan dengan konstitusi UUD’45. Untuk selanjutnya pemerintah dan DPR diminta untuk segera menyiapkan undang-undang baru sebagai pengganti UU No 20 Tahun 2002. Namun dalam Rancangan Undang-Undang Ketenagalistrikan yang baru pun masih sarat dengan bau Neoliberalisme yang akan menyengsarakan rakyat. Penyediaan ketenagalistrikan akan diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah dan pemerintah daerah yang berlandaskan prinsip Otonomi Daerah. Selain itu upaya untuk menswastanisasi bidang ketenagalistrikan juga masih sangat kental dalam RUU Ketengalistrikan yang baru.
Dengan disahkannya UU Kelistrikan yang baru, swasta bisa langsung menjual listrik ke masyarakat di daerah yang belum terjangkau listrik PLN. Sedangkan untuk daerah yang sudah terjangkau listrik PLN, maka pihak swasta, koperasi dan BUMN bisa menjual listriknya ke PLN. Meskipun baru rencana dan masih dalam hitung-hitungan PLN, yang belum mendapat persetujuan DPR dan Pemerintah. Rencana kenaikan tarif dasar listrik (TDL) oleh PLN yang dikabarkan berkisar 20-30% ditolak pengusaha. Kenaikan tersebut akan mengganggu ongkos produksi industri dan daya saing, termasuk memberatkan konsumen umum. Rakyat Indonesia oleh pemerintah saat ini hanya dijadikan “sapi perah” agar dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi para pemilik modal. Hal ini juga menunjukkan ketertundukkan pemerintah kepada para pemilik modal dan tidak mempedulikan nasib rakyat Indonesia akibat diberlakukannya berbagai kebijakan yang dimunculkan oleh pemerintah. Dengan adanya UU ketenagalistrikan yang baru ini sangat bertolak belakang dengan UUD 1945 pasal 33 yang berbunyi:
"Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat."
Sudah jelas bahwa sistem Neoliberalisme-Kapitalisme telah gagal untuk mensejahterakan rakyat Indonesia. Bahkan sebenarnya bukan hanya gagal, namun sistem Neoliberalisme-Kapitalisme jelas-jelas hanya akan menyengsarakan kehidupan rakyat Indonesia dan hanya ingin menguntungkan kepentingan-kepentingan para pemilik modal.
DPR, sebagai badan legislatif seharusnya menolak dengan tegas diberlakukannya Rancangan Undang-Undang Ketenagalistrikan yang baru, untuk menggantikan UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Karena sebenarnya RUU Ketenagalistrikan yang akan diberlakukan tersebut tidak berbeda dengan Undang-undang sebelumnya, dimana hanya akan menguntungkan kepentingan para pemilik modal dan menyengsarakan rakyat Indonesia.
”pemerintah seharusnya melakukan restrukturisasi energi listrik sebagai bagian dari reformasi ekonomi yang meningkatkan efisiensi ekonomi nasional tanpa memberi angin segar kepada sektor swasta dan mengesampingkan kesejahteraan rakyat banyak.”
Masalah kelistrikan di Indonesia sebenarnya sudah sangat jelas, yaitu kurangnya pasokan. Hampir di seluruh daerah di Indonesia, tingkat beban puncak melebihi daya mampu. Apa yang menjadi sebab kesenjangan antara kebutuhan listrik dan pasokan listrik di Indonesia? PLN, sebagai satu-satunya produsen listrik di Indonesia menghadapi banyak persoalan yang dilematis dalam mengurus sistem kelistrikan Indonesia. Pertama mengenai harga. Harga listrik telah dipatok oleh pemerintah sedangkan biaya produksi naik berlipat-lipat sementara subsidi terus dikurangi. Kedua, PLN harus menghadapi pemasok energi primer yang harganya sudah dilepas ke mekanisme pasar (Tempo, edisi 3-9/03/2008).
Sedangkan untuk rakyat Indonesia di Jawa-Bali saja, penggunaan listrik bagi kebutuhan rumah tangganya telah mencapai 90%. Sedangkan untuk wilayah luar Jawa, walaupun belum semua menggunakan jasa listrik untuk kebutuhan rumah tangganya, namun dapat dipastikan bahwa sebagian besar rakyat di luar Jawa juga membutuhkan listrik untuk membantu produktivitas rumah tangga dan industrinya. Untuk itu, listrik dapat dianggap sebagai sebuah kebutuhan yang mungkin tidak dapat dilepaskan dari kehidupan masyrakat untuk menjalani kehidupannya.
Oleh karena itu, bidang kelistrikan kemudian juga menjadi incaran para pemilik modal untuk mendapatkan keuntungan. Dengan asumsi sekitar 90% masyarakat di Jawa dan Bali menggunakan listrik untuk membantu produktivitas rumah tangganya, maka ini bisa menjadi lahan bisnis baru bagi para pemilik modal.
Untuk melancarkan swastanisasi/privatisasi bidang kelistrikan kemudian pemerintah pada tahun 2002 memberlakukan UU No 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. Inti dari UU No 20 Tahun 2002 tersebut adalah mengupayakan swastanisasi/privatisasi kelistrikan di Jawa-Bali dapat terwujud dan menyerahkan PLN Luar Jawa ke Pemda. Hal ini jelas akan berdampak pada semakin tingginya biaya listrik yang harus ditanggung oleh rakyat Indonesia, khususnya di Jawa-Bali serta membebankan PEMDA dalam memenuhi kebutuhan listrik bagi masyarkatnya. Dalam salah satu pasalnya di UU NO 20 Tahun 2002 disebutkan bahwa usaha pembangkitan tenaga listrik dilakukan berdasakan kompetisi. Artinya untuk pembangkit tenaga listrik, setiap pemilik modal dapat berkompetisi untuk membangun instalasi tersebut. Hal ini jelas akan berdampak seperti halnya swastanisasi yang saat ini terjadi di bidang pendidikan dan kesehatan. Masyarakat yang tidak mampu secara finansial akan tertutup aksesnya untuk menikmati listrik karena tidak memiliki biaya.
Akan tetapi pada 15 Desember 2004, Mahkamah Konstitusi membatalkan UU No 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan karena bertentangan dengan konstitusi UUD’45. Untuk selanjutnya pemerintah dan DPR diminta untuk segera menyiapkan undang-undang baru sebagai pengganti UU No 20 Tahun 2002. Namun dalam Rancangan Undang-Undang Ketenagalistrikan yang baru pun masih sarat dengan bau Neoliberalisme yang akan menyengsarakan rakyat. Penyediaan ketenagalistrikan akan diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah dan pemerintah daerah yang berlandaskan prinsip Otonomi Daerah. Selain itu upaya untuk menswastanisasi bidang ketenagalistrikan juga masih sangat kental dalam RUU Ketengalistrikan yang baru.
Dengan disahkannya UU Kelistrikan yang baru, swasta bisa langsung menjual listrik ke masyarakat di daerah yang belum terjangkau listrik PLN. Sedangkan untuk daerah yang sudah terjangkau listrik PLN, maka pihak swasta, koperasi dan BUMN bisa menjual listriknya ke PLN. Meskipun baru rencana dan masih dalam hitung-hitungan PLN, yang belum mendapat persetujuan DPR dan Pemerintah. Rencana kenaikan tarif dasar listrik (TDL) oleh PLN yang dikabarkan berkisar 20-30% ditolak pengusaha. Kenaikan tersebut akan mengganggu ongkos produksi industri dan daya saing, termasuk memberatkan konsumen umum. Rakyat Indonesia oleh pemerintah saat ini hanya dijadikan “sapi perah” agar dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi para pemilik modal. Hal ini juga menunjukkan ketertundukkan pemerintah kepada para pemilik modal dan tidak mempedulikan nasib rakyat Indonesia akibat diberlakukannya berbagai kebijakan yang dimunculkan oleh pemerintah. Dengan adanya UU ketenagalistrikan yang baru ini sangat bertolak belakang dengan UUD 1945 pasal 33 yang berbunyi:
"Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat."
Sudah jelas bahwa sistem Neoliberalisme-Kapitalisme telah gagal untuk mensejahterakan rakyat Indonesia. Bahkan sebenarnya bukan hanya gagal, namun sistem Neoliberalisme-Kapitalisme jelas-jelas hanya akan menyengsarakan kehidupan rakyat Indonesia dan hanya ingin menguntungkan kepentingan-kepentingan para pemilik modal.
DPR, sebagai badan legislatif seharusnya menolak dengan tegas diberlakukannya Rancangan Undang-Undang Ketenagalistrikan yang baru, untuk menggantikan UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Karena sebenarnya RUU Ketenagalistrikan yang akan diberlakukan tersebut tidak berbeda dengan Undang-undang sebelumnya, dimana hanya akan menguntungkan kepentingan para pemilik modal dan menyengsarakan rakyat Indonesia.
”pemerintah seharusnya melakukan restrukturisasi energi listrik sebagai bagian dari reformasi ekonomi yang meningkatkan efisiensi ekonomi nasional tanpa memberi angin segar kepada sektor swasta dan mengesampingkan kesejahteraan rakyat banyak.”
No comments:
Post a Comment