09 November 2009

Memperingati Sumpah Pemuda, Indonesia Masih Dijajah Kawan!





Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.

Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.

Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia”


Kalo melihat kembali sekilas tentang sejarah sumpah pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, ketika itu para pemuda dari seluruh Indonesia, dari berbagai pelosok tanah air berkumpul di Jakarta untuk mengadakan Kongres Pemuda II.. Tiga baris kalimat di atas lah yang menjadi hasil dari kongres pemuda tersebut, yang saat ini dikenal dengan istilah Sumpah Pemuda. Para peserta Kongres Pemuda II ini berasal dari berbagai wakil organisasi pemuda yang ada pada waktu itu, seperti Jong Java, Jong Ambon,Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, PPPI, Pemuda Kaum Betawi, dll. Para pemuda, dengan inisiatif mereka, rela untuk menyebrangi pulau dan menempuh perjalanan demi untuk berkumpul dengan pemuda-pemuda dari daerah lain di Indonesia.Tujuan mereka satu: menyatukan Indonesia; yang pada waktu itu merupakan sama-sama daerah jajahan imperialis-kolonialis Belanda dan menginginkan kemerdekaan.

pernyataan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 sudah menjadi perwujudan kenyataan politik dari Indonesia merdeka dan berdaulat, sekaligus sebuah pernyataan formal untuk mendapat pengakuan bangsa-bangsa lain di dunia. Dengan begitu, deklarasi “sumpah pemuda” sudah mencapai cita-cita politiknya pada proklamasi kemerdekaan itu. Namun ciita-cita politik mengenai Indonesia merdeka dan berdaulat, hanya merupakan ungkapan politik dari sebuah cita-cita kolektif mengenai keadilan sosial, kesejahteraan, dan kemakmuran bagi seluruh rakyat. Sehingga, perjuangan mewujudkan cita-cita politik ini merupakan sebuah lintasan panjang dari dinamika perjuangan rakyat Indonesia.

Dalam konteks itu, proklamasi bukanlah akhir dari perjuangan mencapai cita-cita politik, sebab kemerdekaan formal ini ternyata belum mendekatkan seluruh rakyat pada cita-cita politiknya; kemerdekaan, keadilan, dan kesejahteraan. Sumpah pemuda tidak bisa disubtitusi dengan ungkapan sebuah pernyataan formal Indonesia merdeka; punya bendera, punya pemerintahan, punya nama “Indonesia”, punya lagu Indonesia raya, dll. Akan tetapi, lebih dari itu, cita-cita politik ini mensyaratkan sebuah perubahan struktural dari kolonialisme menuju ke sebuah tatanan masyarakat baru; berkeadilan sosial, sejahtera, dan makmur serta bebas dari penjajahan.

Saat ini sepertinya sejarah kembali terulang, bangsa Indonesia jatuh ke “lubang” yang sama seperti kolonialisme tahun 1920-an. Indonesia masih dijajah oleh “VOC baru” berwujud korporasi asing terutama secara ekonomi. Situasi politik, sosial, dan budaya yang dihadapi oleh kaum muda sekarang ini pun, sebetulnya tidak berbeda jauh dengan praktik kolononialisme di masa lalu. Di bidang ekonomi misalnya, saat ini hampir sebagian besar saham BUMN dikuasai oleh asing. Yang paling parah, Sumber Daya Alam (SDA) di Tanah Air yang dikelola korporasi-korporasi asing itu sangat sedikit benefit-nya bagi Indonesia. Korporasi-korporasi asing seperti Freeport, Newmont, Exxon Mobile, Chevron, dll mengeruk habis sumber daya kita dan memberikan keuntungan yang sangat sedikit kepada Indonesia, tidak sebanding dengan hasil alam melimpah kita yang dikeruk habis-habisan oleh mereka. Selama ini ada kekeliruan besar dalam kebijakan pengelolaan SDA terutama sektor migas dimana ada ketentuan yang tidak masuk akal bahwa hanya 20 persen gas yang bisa digunakan Indonesia dan selebihnya diekspor. Padahal selama ini beberapa daerah di Indonesia masih mengalami pemadaman listrik dengan alasan ketiadaan pasokan bahan bakar sementara migas yang dihasilkan dari perut bumi tanah air di ekspor ke negara lain.
Selain itu banyak korporasi asing yang memiliki kekuasaan terhadap pemimpin sementara rakyat tidak berhak mengetahui tentang pengelolaan SDA yang dimiliki. Dan yang paling dominan adalah proporsi terbesar dari keuntungan pengelolaan sumber daya alam kita masih dinikmati oleh bangsa asing, sementara pengelolaan ekonomi sepenuhnya didominasi oleh modal asing. Ironisnya posisi perekonomian Indonesia pun belum bergeser dari posisi Negara jajahan; sebagai pengespor bahan mentah, tempat penanaman modal asing (investasi), penyedia tenaga kerja murah, dan menjadi pasar bagi produk negeri-negeri imperialis. Sementara di bidang sosial dan budaya, penetrasi kebudayaan asing juga berlangsung begitu gencar, sehingga menjebol pertahanan kebudayaan nasional dan lokal kita. Gotong-royong, persaudaraan, saling hormat-menghormati kini sudah tidak lagi menjadi sesuatu yang membudaya diantara para pemuda, dan kemudian digantikan dengan kebudayaan penjajah gaya baru (neo-liberal); konsumtifisme, individualisme, hedonisme, dan liberalisme.

Sementara itu pemerintah saat ini juga masih tidak adil terhadap rakyat-rakyatnya di seluruh Indonesia. Tidak ada kesejahteraan secara menyeluruh di bawah pemerintahan agen imperialis saat ini. Sejak era pemerintahan sukarno sampai sekarang ini pembangunan belum dilakukan secara adil dan menyeluruh, terbukti dari banyaknya masyarakat miskin yang kelaparan dan tertinggalnya daerah Kawasan Indonesia Timur, padahal dahulu pada peristiwa sumpah pemuda juga ikut hadir para pemuda dari Jong Celebes, Jong Ambon, dll yang ikut mengikrarkan sumpah pemuda untuk mencapai kemerdekaan dan kesejahteraan bersama. Tampaknya kita masih belum merdeka, lepas dari penjajahan Belanda namun malah dijajah oleh pemerintahan sendiri dan para agen imperialis neo-kolonialisme; WTO, NAFTA, AFTA, IMF, World Bank, dll.

Dalam 5 tahun ke depan, jika tidak ada perubahan yang radikal dan revolusioner, jurang kemiskinan akan semakin terbuka lebar seiring dengan tidak adanya pembatasan masuknya korporasi-korporasi asing di di negeri ini. Seperti contoh-contoh Negara kapitalisme yang lain, “yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin”. Berbagai Undang-Undang yang memperdalam dan melancarkan program-program neoliberalisme telah disahkan secara cepat untuk mengejar target “obat” krisis Kapitalisme Global di negeri dan memperluas lapangan invasi akumulasi kapitalis untuk di bawa ke kantong-kantong korporasi internasional. Undang-undang tersebut, antaralain: UU Ketenagalistrikan, UU Migas, UU HP3, UU Kehutanan, UU Pajak, UU Kawasan Ekonomi Khusus, Perpu Pembebasan Lahan, UU BHP. (2). Bahkan DPR periode 2004-2009 telah mengesahkan privatisasi 30 perusahaan negara (sebagian belum terealisasi). Apa yang dilakukan PDIP, Hanura ataupun Gerindra sebagai kumpulan elit-elit politik Sisa-Sisa Ordebaru dan Reformis Gadungan hanyalah bargaining position belaka agar dalam peta politik ke depan diharapkan akan mendongkrak populeritas politik mereka, dengan tentu saja menunggangi dan memetik hasil kerja keras gerakan anti imperialis. (3). Dengan konfigurasi politik semacam itu, pembatasan ruang-ruang demokrasi (kebebasan ekspresi, kontrol dan partisipasi) akan semakin jelas arahnya, menyempit! Berbagai rancangan UU dan UU yang membahayakan demokrasi, yang menunggu peraturan perundang-undangannya, seperti RUU Rahasia Negara, RUU Penyiaran, RUU Pers, RUU Intelejen Negara.

Sementara elit-elit politik berbagi dan membagi-bagi kekuasaan, dengan tujuan yang sama: memuaskan “Tuan Pemberi Modalnya” (Imperialisme), dan para menteri mulai teriak-teriak kenaikan gaji padahal belum memberi kontribusi apa-apa untuk rakyat sama sekali. kaum miskin di negeri ini mendapati posisinya semakin tertindas dengan: PHK Massal, penggusuran, Pendidikan, transportasi, biaya hidup yang mahal. Suatu sistem yang memaksa manusia untuk mempertahankan hidupnya sendiri-sendiri, memisahkan manusia satu dan lainnya secara sosial dengan tanpa: pengetahuan, modal, teknologi dan alat produksi, sungguh suatu sistem yang memiskinkan. Negara yan gseharusnya pada awal sumpah pemuda diproklamirkan diharapkan dapat memberi kesejahteraan, rasa aman, serta kerakyatan dan keadilan sosial justru malah membuat rakyat semakin dalam kepada jurang kemiskinan. Pemerintahan yan gsangat pro terhadap penjajahan gaya baru yaitu neo-liberalisme.

Sudah sangat jelas bahwa kaum pemuda berhak melakukan perubahan ketika bangsa ini dijajah dan di eksploitasi besar-besaran, bukan hanya dari pihak asing bahkan dari pemerintahan sendiri. Hanya pemudalah yang menjadi penggerak bangsa, menjadi tulang punggung kehidupan bernegara. Pemuda. Penerus Bangsa. Generasi Harapan untuk bangsa kita agar menjadi lebih baik. sudah saatnya kaum muda bangkit untuk melawan penjajahan gaya baru – NEOLIBERALISME!!

Kepada yang terhormat pemerintahan yang tidak adil, kita adalah anak-anak kalian juga, kita punya mimpi dan jangan hancurkan mimpi kita: kita butuh Indonesia yang lebih baik!


“WE ARE MAKING DREAMS - DONT KILL OUR DREAMS.
WE ARE MAKING A DASH - DONT STOP US
WHY DO WE BURN / WHY WE DESTROY?
BECAUSE WE ARE COMMODITIES..
AND WE DON’T LIKE IT AT ALL!!”